Oleh: timhumas | 07/23/2009

Analisis Kebijakan Publik

LATAR BELAKANG

Perumahan  dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mempunyai peran yang strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 28 huruf H, dinyatakan bahwa setiap orang berhak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Selanjutnya dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Lebih lanjut dalam UU Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/ atau menikmati dan/ atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah, untuk sebagian kecil masyarakat mungkin tidak berarti. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Rumah adalah fondasi dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menjadi kehidupan yang bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada individu-individu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses) perumahan, kehidupan pribadi, pun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to a adequate standard of living).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2003), diperkirakan saat ini sekitar 5,03 juta unit (9,43%) di Indonesia belum memiliki rumah atau menempati rumah yang bukan miliknya (backlog) dan pertumbuhan kebutuhan perumahan setiap tahunnya rata-rata sebesar 800.000 unit. Sedangkan pada saat ini tingkat kemampuan pemenuhan kebutuhan perumahan baru baik melalui pasar perumahan, subsidi pemerintah, maupun oleh swadaya masyarakat masyarakat sendiri masih sangat terbatas.

Pada tahun 2000 masih terdapat 14,5 juta unit (28,22%) rumah yang kualitasnya tidak layak huni dan jumlah penduduk miskin yang sebagian besar tinggal di kawasan permukiman kumuh khsusnya di perkotaan dan kawasan nelayan/pesisir masih relati besar. Berdasarkan data Podes tahun 2000, tercatat 10.393 hektar yang dihuni oleh tidak kurang dari 17,2 juta jiwa.

Untuk itulah diperlukan cara pandang yang komprehensif mengenai perumahan dan permukiman, baik dari segi manajemen perumahan di dalam lingkup permukiman dan penyediaan tanah untuk perumahan itu sendiri.

LINGKUP DAN RAGAM MASALAH

Tanah mempunyai sifat yang immobile (tidak bergerak), padahal sangat diperlukan sekali dalam hal pembangunan perumahan seiring dengan laju jumlah penduduk yang setiap tahunnya meningkat pesat.

Sebagai contoh Kabupaten Magelang yang mempunyai luas wilayah 108.573 ha atau sekitar 3,34% luas propinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk 1,15 juta jiwa di tahun 2006. Jumlah rumah tangga (KK) adalah 304.224 jiwa, dengan rata-rata sebesar 3,8% per KK, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 69,9%. (Sumber : Kab. Magelang dalam angka, diolah)

Tabel 1.

DAFTAR JUMLAH PENDUDUK DAN

JUMLAH RUMAH DI KABUPATEN MAGELANG

No.

URAIAN

JUMLAH

1

Jumlah Penduduk

1.153.234

2

Jumlah KK

304.224

3

Jumlah Penduduk Miskin

185.800

4

Jumlah Rumah

255.922

Sumber : BPS Kab. Magelang 2006, diolah.

Data tersebut di atas menyebutkan masih banyak masyarakat yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal hidupnya, bahkan masih perlu dirinci lagi. Bila sudah mempunyai tempat tinggal, apakah layak huni atau tidak?

Di dalam Perpres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No. 36 Tahun 2005, pembangunan perumahan (rumah susun) masih bisa ‘mendompleng’, panitia pengadaan tanah dimintai tolong dalam memperoleh tanah untuk pembangunan perumahan. Tetapi setelah berlakunya Perpres No. 65 Tahun 2006, pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan dipersilakan mencari sendiri, karena sudah dicoret dari kegiatan kepentingan umum. Jadi, pembangunan perumahan sederhana itu dalam suasana Perpres No. 65 Tahun 2006, sudah tidak dikategorikan lagi sebagai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.

PERUMUSAN MASALAH

Situasi Masalah

Penyediaan tanah untuk perumahan jauh dibawah kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan.

Meta Masalah

1. fungsi lahan yang meningkat.

Data peralihan fungsi tanah, dalam hal ini perubahan dari tanah pertanian ke non pertanian menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya karena jumlah tanah tetap sedangkan jumlah penggunaannya bertambah. Data alih fungsi tanah pertanian ke non pertanaian adalah sebagai berikut :

Tabel 2.

DATA ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN KE NON PERTANIAN

DI KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2008

No

Perubahan peruntukkan tanah

Luas lahan

(Ha/Tahun)

1 Tanah Sawah menjadi Permukiman

1.205

2 Tanah Sawah menjadi Industri

2.642

3 Tanah pertanian kering menjadi permukiman

851

4 Tanah pertanian kering menjadi Industri

112

5 Kebun masyarakat, pekarangan dan ladang menjadi permukiman

1.861

6 Kebun masyarakat, pekarangan dan ladang menjadi Industri

228

Catatan : luas penyusutan tanah pertanian rata-rata 9.714 ha per tahun.

(Sumber : Data BPN Kab. Magelang, tahun 2008)

2. Masih banyak warga di perkotaan dan pedesaan yang tidak layak huni / tidak sehat

3. Koordinasi pemerintah, swasta maupun swadaya masih sangat terbatas dalam hal pemenuhan perumahan

4. Perkembangan perumahan dan permukiman baik di perkotaan dan pedesaan yang tidak terencana dengan baik.

Masalah Subsantif

1. Penggunaan tanah yang tidak memperhatikan daya dukung dan keserasian lingkungan.

2. Komunikasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam hal kemampuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman masih sangat terbatas.

Masalah Formal

Keterbatasan lahan dalam hal pemenuhan perumahan dan pemukiman diakibatkan oleh alih fungsi lahan dan tidak adanya koordinasi antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.

Prediksi

Ketersediaan lahan untuk pembangunan perumahan dan permukiman akan menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Fenomena perumahan dan permukiman kumuh merupakan akibat tidak terkendalinya penataan ruang dan pengalokasian penggunaan tanah yang tidak sesuai peruntukkannya. Hal ini diperparah dengan laju jumlah pertumbuhan penduduk yang tiap tahun selalu meningkat pesat.

ALTERNATIF KEBIJAKAN

Kertas kerja untuk mengestimasi dampak alternatif kebijakan untuk masalah keterbatasan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan pemukiman.

No.

Tujuan

Kriteria

Tingkat Manipulasi / Alternatif

Rendah

Sedang

Tinggi

1

Keserasian Lingkungan Konsolidasi Tanah (KT)

Kesepakatan dengan masyarakat mencapai 85% atau lebih

Ada Kesepakatan masayakat dan perangkat hukum yang dibuat pejabat setempat

Ada kesepakatan masyarakat didukung landasan hukum dan dilaksanakan pihak ketiga (swasta).

2

Fungsi tanah terpelihara dengan baik. Pendayagunaan tanah terlantar

Sanksi tidak ada

Sanksi tidak tegas

Sanksi harus tegas

3

Keteraturan dalam penatagunaan tanah Alih fungsi lahan

Terbitnya UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Ada tetapi belum mengikat.

Tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur alih fungsi lahan

4

Keindahan dan Tata Kota Pendayagunaan Tanah yang merupakan asset instansi pemerintah Daya dukungnya rendah Daya dukungnya sedang Daya dukungnya tinggi

5

Memaksimalkan fungsi wakaf (wakaf tanah dan wakaf tunai) Wakaf Tanah dan Wakaf Tunai Daya dukungnya rendah Daya dukungnya sedang Daya dukungnya tinggi

REKOMENDASI KEBIJAKAN

  1. Dalam melaksanakan Konsolidasi Tanah (KT) diperlukan payung hukum berupa undang-undang.
  2. Perlu adanya revisi peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi yang tegas, jika bidang-bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar maka terbuka kemungkinan untuk mendayagunakannya untuk pembangunan perumahan dan permukiman.
  3. Diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengakomodir wakaf sebagai pemenuhan kebutuhan tanah akan pembangunan perumahan dan permukiman.

STRATEGI IMPLEMENTASI

Dalam implementasinya, sesuai dengan nafas otonomi daerah, kita serahkan kepada pemangku daerah masing-masing untuk melaksanakannya. Mana yang lebih cocok diterapkan di daerahnya, karena setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda.


Tinggalkan komentar

Kategori