Oleh: timhumas | 02/14/2011

Pluralitas Keber-agama-an dan permasalahan kekerasan di Indonesia.

by : Mahfudz Siddiq

  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan asas Ketuhanan YME dan jaminan kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadahnya. Artinya negara menegaskan jaminan eksistensi agama dan fasilitasi negara bagi warganya untuk menjalankan ajaran agama.
  2. Maka negara punya otoritas penuh, termasuk dalam mengatur kehidupan beragama sesuai dengan tujuan menciptakan jalan hidup yang baik dunia akhirat.
  3. Setiap agama punya keberagaman dalam penafsiran dan pemahaman, sehingga muncul aliran-aliran dan juga organisasi-organisasinya. Namun setiap agama punya hal-hal prinsip yang aksiomatis sebagai syarat mutlak identitas agama tersebut.
  4. Dalam islam, hal-hal prinsip tertuang dalam rukun iman dan rukun islam, diantaranya pengakuan terhadap Nabi Muhammad saw sebagai rasul terakhir. Siapapun yg berbeda dari prinsip ini, maka secara syariat mereka dikategorikan bukan lagi pemeluk islam.
  5. Ahmadiyah yg mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad oleh para ulama dunia sudah difatwakan sebagai keluar dari agama Islam. Hal ini berlaku untuk penganut ahmadiyah di Indonesia yang masih menyebut dirinya Islam Ahmadiyah.
  6. Akar konflik tentang ahmadiyah di Indonesia karena mereka masih mengaku sebagai pemeluk Islam, dan ditambah sikap demonstratif dari sebagian pengikutnya. Sementara di kalangan umat islam, muncul tuntutan pembubaran ahmadiyah.
  7. Jadi sebagai Implementasi UUD 1945, maka negara dengan otoritasnya harus bisa menyatakan bahwa ahmadiyah bukan Islam. Ini akan memutus akar masalah dasarnya.
  8. Setelah itu baru kita bicara penegakan HAM dan hukum bagi siapapun yang melakukan kekerasan.
  9. Kekerasan apapun yg mengancam jiwa dan harta WNI harus ditolak, termasuk terhadap warga ahmadiyah.
  10. SKB tentang ahmadiyah hanya aspirin yang jika terlalu lama bisa punya efek samping negatif.
  11. Jika negara tetapkan ahmadiyah bukan Islam, maka negara dan ummat berkewajiban melindungi dan membimbing mereka.
  12. Dan ummat islam juga bisa mendakwahi mereka bil hikmah wal mauizhatil hasanah.

Kembali soal ahmadiyah. Yang saya paparkan adalah akar masalah dan bagaimana memutusnya. Lalu kita semua menata ulang social order dalam hubungan antar umat beragama. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi sebelumnya tidak bisa ditolerir. Namun semua itu lingkaran dialektika aksi-reaksi yg absurd, yg membuat semua pihak andil dalam kemelut berkepanjangan. Bagaimana kita bisa tegakkan hukum di atas absurditas masalah, kita masing-masing pihak mengklaim kebenaran tindakan dan pandangannya ?

Dalam perspektif agama, kebenaran hukum positif harus ditegakkan di atas landasan kebenaran hukum Ilahiyah, dengan segala rasionalitasnya. Ini hakikat negara hukum yg dilandasi Ketuhanan YME. Pencuri tidak serta merta dihukum manakala hak-hak dasar ekonominya terzalimi. Ini hakikat negara hukum yg dilandasi Ketuhanan YME. Dari perspektif sejarah agama dan politik kolonialisme, kemunculan aliran-aliran agama yang dinilai menyimpang oleh mainstream umat tidak lepas dari politik devide et empera, politik pecah belah dan adu domba. Ini warisan sejarah bangsa-bangsa jajahan.

Jadi ide solusi konkret saya soal ahmadiyah :

  • Negara tetapkan ahmadiyah sebagai bukan Islam.
  • Bangun konsensus dan rekonsiliasi unsur-unsur umat.
  • Tegakkan hukum dan HAM terhadap kekerasan atas pengikut aliran-aliran minoritas agama.
  • Deteksi dini potensi konflik & lokalisir penyelesaiannya.
  • Negara konsolidasikan energi dan potensi bangsa dan umat untuk wujudkan kemakmuran.
  • Selesai!

Tinggalkan komentar

Kategori